Senin, 26 Maret 2007

Cinta

Cinta...mengapa kau begitu kejam padaku
Saat ku temukan seorang yang aku ingin bersamanya
dengan alasan cinta kau jauhkan ia dariku

Saat ada yang mencintaiku
dengan alasan cinta ia membohongiku

Karena cinta kini aku tersiksa
Pada perasaan yang harus kubuang jauh-jauh
Karena ia bukan untukku

Cinta...akankah kau warnai hidupku dengan suka
dan kau hiasi dukaku kulewati bersamanya

Akankah kau menghampiriku
Bersama orang yang membawamu padaku
Setulus hati
Karena kehendak dan cinta Tuhannya

Jumat, 02 Maret 2007

Ujung Jalan

Masih Kupandangi ujung jalan itu, ujung jalan yang menjadi kenangan seumur hidupku. Disana, di ujung jalan itu, kudapati sahabatku terakhir kalinya. Sahabat sejati yang tanpa kuduga akan pergi meninggalkanku.

Cukup perih memang, kehilangan ia...bila kuingat saat-saat bersamanya...Perih. Tanpa terasa bulir-bulir benign berjatuhan daripelupuk mataku. Meleleh dan mendarat, hingga akhirnya hilang ditelan bumi... seperti hilangnya sahabatku. Tak mampu lagi kutopang tubuhku, aku terduduk. Cairan merah mengalir cukup deras di lututku, namun rasa perihnya tak dapat mengalahkan perih di hati. Luka ini, luka hatiku ini, rasanya tak dapat terobati. Dengan sekuat tenaga, aku berteriak pada Nya, pada Dia yang katanya Maha Pengasih, tapi membiarkanku kehilangan sahabat.
"Tuhan, orang bilang Engkau selalu membantu hambaMu, lalu mengapa Kauu biarkan sahabatku pergi dari sisiku? Katanya Kau bisa lakukan apapun, lalu mengapa tak Kau hentikan kepergian sahabatku? Kau kejam Tuhan! Kau kejam! Kau pisahkan Ia dariku, di depan mataku Kau renggut ia, disana! Di ujung jalan itu! Ujung jalan yang kini amat ku benci! Aku benci Kau Tuhan!"
Kutatap sang mentari...
"Wahai mentari, Kenapa tak kau lelehkan saja aku?! Agar aku bisa ikuti kemana sahabatku pergi!"
kualihkan pandangan pada kapas-kapas putih di langit...
"Hei awan! bisakah kau kembalikan sahabatku? Menjelmalah kau, gambarkan wajahnya, agar sedikit hilang kerinduanku padanya!"
Angin lembut belaiku
"Angin, sampaikanlah sentuhan hangatku dan pelukanku pada sahabatku disana. Lalu kembalilah kau padaku dengan balasan hangat dari sahabatku."
Sepi. Tak ada suara sedikitpun
"Hei kau ujung jalan! Mengapa kau ambil sahabatku? Aku membutuhkannya, kembalikan ia!Tidakkah kau lihat aku hampir gila. Kembalikan ia, ia satu-satuny yang kumiliki."

Mutiara bening itu kini mengalir deras bak sungai. Aku terisak, Darah tak jua mengering. LUka hati semakin menganga. Senyap.
"Kenapa Tuhan? Kembalilah Sahabat."

"Kau dapat pelukan hangat dari sahabatmu."
Sejenak aku terlena.
"Tidak mungkin! MAna mungkin begitu cepat ia berikan balasan? Mustahil! Tak usah kau dusta, angin!"
"Aku tidak berdusta."
"Kulihat sahabatmu dari sini. Ia datang menemuimu, senyumnya hiasialam, ia bahagia kini, jika kau bahagia dan begitu sebalkiknya. Bukankah begitu?" sahut awan.
Aku termenung, kembali senyap.
"Tapi TUhan tak adil! Ia ambil sahabatku dan aku tak tahu apakah ia bahagia atau tidak. Tuhan kembalikan sahabatku. Kembalikan ia..kembalikan ia..."
Gelap.
"Sahabtku, sadarlah. Aku disini, kawan."
Kubuka mataku perlahan. Samar, tapi suara itu amat kukenal.
"Puji Rabb semesta alam." ujat sahabtku seraya memelukku.
"Kau kembali sobbat? Aku tak percaya, awan, angin, mentari, mereka tidak berdusta padaku."
Kutatap lekat senyum di wajahnya.
"Aku bersamamu, kaupun bersamaku kini..."
"Dan kini aku akan membawamu bersamaku, kawan."